Selasa, 28 Januari 2014

resensi film sang kyai dan antropologi al-qur'an

 Antropologi Al-Qur’an

http://3.bp.blogspot.com/-oPzRqZClueE/UDtE6nhnJ6I/AAAAAAAAALk/tPem78pBv6k/s320/antropologi-alquran.jpg

Sampai saat ini kajian Al-Qur’an masih banyak dilakukan oleh banyak kalangan intelektual muslim maupun non muslim di belahan dunia. Begitu juga, jika “menengok” ke belakang dapat ditemukan bermacam-macam karya para intelektual muslim yang mengulas perihal studi Al-Qur’an. Sebut saja kitab Al-Itqan karya pemikir besar al-Syuyuthi, Al-Burhan fi Ulumi Al-Qur’an karya al-Zarkasyi, dan Manahilu Al’irfan karya al-Zarqani. Karya-karya tersebut tidak hanya masyhur pada masanya, tetapi juga sampai saat ini karya-karya tersebut masih dijadikan sebagai salah satu referensi dalam studi Al-Qur’an.

Namun karya-karya yang sudah lama ada itu dirasakan masih banyak kekurangan, apalagi jika diterapkan dalam kontek kekinian. Sehingga memunculkan kegelisahan tersendiri bagi para intelektual muslim kontemporer. Sehingga mereka mencoba mengkaji ulang atas studi-studi Al-Qur’an yang sudah ada, maupun memberikan “materi” baru dalam studi Al-Qur’an. Mereka ingin mencairkan studi Al-Qur’an yang selama ini selalu dikekang dengan idiologis-politis tertentu. Hal ini menyebabkan pesan universal dalam Al-Qur’an tidak tersampaikan secara menyeluruh.

Beberapa tokoh kontemporer yang mencoba mengkaji ulang (melakukan pembaharuan) atas studi Al-Qur’an, diantaranya adalah Amin al-Khulli, intelektual Mesir yang melopori pendekatan susastra Al-Qur’an, menyatakan dalam sebuah karyanya, bahwa Al-Qur’an merupakan kitab sastra terbesar (Kitab Al’Arabiyah Al-Akbar). Artinya sebelum melangkah pada studi Al-Qur’an lebih jauh, Al-Qur’an harus dianggap sebagai teks sastra suci. Dengan kata lain, seseorang harus menempuh metode pendekatan sastra, agar dapat memahami Al-Qur’an secara proporsional. 
Selanjutnya, Nasr Hamid Abu Zaid, dalam karyanya Mafhum Al-nash (diterjemahkan dengan judul Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik terhadap Ulumul Qur’an, LKiS), yang menganggap Aqur’an sebagai sebuah teks yang dapat ditafsirkan secara beragam. Pemilihan kata teks yang merujuk pada Al-Qur’an dimaksudkan untuk menghindari konotasi teologis-mitis dalam studi Al-Qur’an. Dari beberapa tokoh diatas menunjukkan bahwa mereka memiliki tujuan yang mulia dalam mengembangkan Studi Al-Qur’an.
Buku berjudul Antropologi Al-Qur’an ini juga membahas suatu tawaran baru dalam khazanah keilmuan islam, terutama Studi Al-Qur’an. Kajian baru yang diberikan merupakan hasil pembacaan atas pemikiran Mohammed Arkoun, salah satu tokoh intelektual kontemporer terkemuka yang berwarganegara Aljazair. Arkoun merupakan guru besar pemikiran dan kebudayaan islam di Univesitas Sorbonne Nouvelle (Paris III), Prancis. Pemikiran-pemikiran segar yang dilontarkan Arkoun banyak dikaji dalam kalangan akademik. Pemikiran Arkoun juga begitu berpengaruh di lingkungan Perguruan Tinggi Indonesia, terutama Perguruan Tinggi Islam. Sehingga  penulis buku ini, Baedhowi, M.Ag,  mencoba untuk merangkai beberapa hasil pemikiran Arkoun dalam bingkai sebuah buku yang menakjubkan.
Kajian Al-Qur’an yang ditawarkan Arkoun merupakan hasil kolaborasi antara khazanah keilmuan yang sudah ada (konvensional) dengan alat analisis modern, terutama semiotika dan antropologi. Sebelum memulai pada persoalan kajian Al-Qur’an, penulis mengulas sosok Muhammed Arkoun yang dijadikan sebagai tokoh dalam buku ini. Pembahasan perihal kehidupan Arkoun dimulai dari kelahiran, sang tokoh sentral dalam buku ini,  sampai pada kancah karirnya dalam dunia akademik.
Arkoun sangat apresiatif memberikan perhatiannya pada pengetahuan bahasa. Hal ini disebabkan  tradisi dan kebudayaan yang membentuk pola berfikirnya. Sejak kecil Arkoun terbiasa menggunakan tiga bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, bahasa Kabilia; yang digunakan dalan kehidupan sehari-hari, kedua, bahasa Perancis; digunakan di sekolah dan urusan administratif, dan, ketiga, bahasa Arab; digunakan di lingkungan masjid dan urusan yang berkaitan dengan Islam (Halaman 4). Berpijak dari pengalamannya itu  tema-tema pemikiran Arkoun banyak terkait dengan bahasa. Arkoun terobsesi untuk menggabungkan bahasa dengan persoalan kemanusian. Karena selama ini ilmu kebahasaan belum menyentuh permasalahan-permasalahn manusia, yang ada malah berjalan masing-masing seolah tidak saling terkait. Sehingga Arkoun dalam hal ini menggunakan semiotika dan antropologi sebagai pendekatan untuk mengkaji Al-Qur’an. Hal ini juga disebabkan Al-Qur’an merupakan kitab primer yang mengandung simbol,  konsep, dan metafor dalam setiap untaian kata yang saling berkaitan.















RESENSI FILM : HADRATUSSYAIKH SANG KYAI HASYIM ASYARI
Standar
Sinopsis Film Sang Kyai 2013

Film ini dimulai dengan sebuah kisah di lingkungan Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Pesantren yang dipimpin oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari ini dalam kondisi yang tenang dan khusyuk. Banyak santri yang berasal dari Pulau Jawa dan Madura datang untuk belajar ilmu pengetahuan Islam di pesantren ini. Hadratussyaikh pun dikenal sebagai pendiri jama’ah Nahdlatul ‘Ulama. Organisasi yang dibentuk untuk menyatukan seluruh umat Islam yang berbasis pesantren. Organisasi ini juga mempunyai tujuan untuk mengajarkan Islam serta mensejahterakan masyarakat Indonesia.

Dalam permulaan film ini, Hadratussyaikh berbincang dengan Istrinya bahwa “Seseorang yang tidak berjama’ah tidak akan mendapatkan ridho Allah SWT dari jaman dahulu hingga sekarang”. Artinya kita ketika hidup di Dunia ini haruslah berjama’ah supaya kita bisa menjaga saudara muslim kita untuk mengajak kepada kebaikan, mencegah dari kemungkaran dan senantiasa saling mengingatkan untuk beriman kepada Allah.

Kisah Film ini dimulai dengan penolakan masyarakat Islam dengan “Sikerei”. Sikerei merupakan upacara tentara jepang untuk menyembah dewa matahari yang disimbolkan dengan menundukkan badan meyerupai gerakan ruku’. Hal ini juga ditentang oleh para ‘ulama pada saat itu termasuk Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari. Hingga kemudian tentara Jepang datang ke Pesantren Tebuireng dengan membawa senjata api bahkan nyaris membakar para santri yang sedang belajar di tempat tersebut. Hadratussyaikh tidak mau melakukan Sikerei karena ini adalah salah satu bentuk penyembahan kepada selain Allah. Bahkan dengan tegas Hadratussyekh menyatakan bahwa “Sikerei itu Haram!”

Setelah dipindahkan ke mojokerto, Wahid Hasyim dan KH. Wahab Chasbullah melakukan perundingan melalui jalur diplomasi. Beliau berdua mendatangi tentara jepang serta para pemimpinnya, dan akhirnya jepang pun melunak setelah mendapatkan penjelasan oleh masyarakat pribumi yang bekerja kepada jepang bahwa masyarakat Indonesia sangat kuat ikatan persaudaraannya dengan dilandasi dengan agama Islam. Akhirnya jepang pun melepaskan Haddratussyaikh beserta para ‘ulama lainnya dari dalam penjara.

Jepang kemudian membujuk para pemimpin umat Islam untuk bekerjasama dengan pemerintah jepang. Kemudian Majelis Islam Ala Indonesia (MIAI), sebuah organisasi ke-Islam-an yang berhubungan dengan jaringan Islam Internasional dibubarkan dan digantikan dengan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Masyumi ini dipimpin oleh beberapa ‘ulama Islam dan salah satunya adalah KH. Hasyim Asyari.

Kemudian Jepang membujuk Masyumi melalui Departemen Agama (Shumubu) untuk memaksa masyarakat Indonesia untuk melipatgandakan hasil pertaniannya. Paksaan ini kemudian disetujui dan dilakukan dengan hati-hati dan kewaspadaan jangan sampai hasil pertanian masyarakat pribumi dibawa ke Negara penjajah.

Kebijakan Jepang untuk melipatgandakan hasil pertanian pun mulai menuai protes dari masyarakat Indonesia. Beberapa pergolakanpun terjadi, salah satunya di daerah Sukamanah, Jawa Barat. Pergolakan ini dipimpin oleh KH. Zaenal Mustafa yang penentang kebijakan tanam paksa ini. Sikap Masyumi seakan-akan diam menuai pertanyaan dari masyarakat. Hingga kemudian KH. Zaenal Mustafa dihukum penggal oleh Jepang di pesisir Ancol. 

Pelawanan rakyat Indonesia kembali bergelora melihat penjajahan jepang yang mulai mengingkari perjanjian yang telah disepakati. Masyumi akhirnya menolak untuk melanjutkan bujukan Jepang melalui Departmen Agama (Shumubu). Dan Jepang akhirnya melakukan taktik untuk menggabungkan Shumubu dengan Masyumi dengan menunjuk Haddratusyaikh sebagai Menteri Agama waktu itu. Beliau menerimanya, akan tetapi Beliau memilih untuk tetap di Pesantren Tebuireng dan Tugad Menteri Agama dilaksanakan oleh Putra Sulungnya Wahid Hasyim. 

Tahun 1945, Jepang mendapatkan tekanan dan serangan oleh tentara Sekutu sehingga kemudian Jepang mengalami kekalahan dan pasukannya mulai melemah. Kemudian Jepang meminta kepada Masyumi untuk mengadakan pelatihan wajib militer kepada seluruh Muslim Indonesia melalui Hadratussyaikh. Akan tetapi, Hadratussyaikh menolaknya karena mayoritas masyarakat Indonesia pasti tidak mau untuk melawan tentara sekutu di wiliayah Burma. Beliau kemudian meminta kepada Jepang melatih masyarakat Indonesia untuk membentuk tentara Laskar Hisbullah untuk mempersiapkan kemerdekaan. 

Laskar Hisbullah pun terbentuk, posisi Jepang terancam dengan kekalahannya melawan tentara Sekutu. Pembentukan panitia persiapan kemerdekaan pun terus berlanjut. Hingga kemudian pada tanggal 11 Agustus 1945, Perdana Menteri Jepang, PM Kaiso menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia dan mengundang Soekarno sebagai utusan yang menerima pernyataan kemerdekaan Indonesia tersebut. 

Kemerdekaan Indonesia pun semakin dekat, Soekarno melalui utusannya meminta pernyataan membela tanah air kepada Hadratussyaikh untuk melawan penjajahan. Utusan Soekarno menyampaikan “bagaimana hukumnya membela tanah air bagi masyarakat Indonesia tanpa kepentingan golongan dan agama apapun?” Utusan Soekarno ini sempat mengulangi pertanyaan tersebut sampai beberapa kali. Kemudian Hadratussyaikh menjawab bahwa “Hukum membela tanah air adalah wajib bagi setiap Muslim”. Hal ini bisa diartikan bahwa setiap umat Islam wajib memperjuangkan tanah airnya demi kemuliaan Islam. Pergolakan pun berlanjut, Kemerdekaan pun dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Peperangan masih berlanjut dan Jepang pun angkat kaki dari Indonesia. 

Akan tetapi, Belanda yang belum mengakui kemerdekaan Republik Indonesia datang kembali ke Tanah air hingga kemudian terjadi pergolakan kembali. Ditambah dengan tentara Inggris yang membonceng tentara Belanda datang ke Surabaya pada Bulan November 1945. Bung Tomo, salah satu pejuang kemerdekaan pun datang dan bertemu langsung kepada Hadratussyaikh untuk meminta wejangan dan nasehat. Dan Hadratussyaikh pun berkata kepada Bung Tomo untuk Menyampaikan orasi dengan lantang serta menyuarakan Islam dengan cara mengagungkan Nama Allah dalam orasinya dengan Takbir tiga kali. Allahu Akbar!! Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!

Resolusi Jihad pun dirumuskan oleh para ‘Ulama dalam pertemuan yang dilakukan di dalam gedung GP. Ansor Surabaya. Resolusi Jihad ini diadakan untuk mengoptimalkan perjuangan umat Islam Indonesia. Bahwa melawan penjajah kafir wajib hukumnya, barangsiapa yang wafat maka akan syahid karena Allah dan barangsiapa yang bersekutu dengan belanda maka akan dibunuh. 

Peperangan pun terus berlanjut. Pada tanggal 10 November 1945, Kota Surabaya menjadi lautan api. Semua sudut kota terbakar habis. Kemudian Inggris berhasil dipukul mundur oleh para pejuang Islam yang telah berjuang dengan berdarah-darah. 

Film ini ditutup dengan wafatnya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari, padahal pada saat itu para pejuang Islam masih membutuhkan banyak nasehat dari beliau untuk tetap mempertahankan negara Indonesia ini dalam bingkai ke-Islam-an. Pada saat itu pula Agresi Belanda I yang terjadi pada tanggal 21 Juli 1947.  Jombang pun diserang oleh Belanda, bahkan pesantren Tebuireng dibakar oleh Belanda karena dituduh sebagai sarang pemberontak Muslim. 

Sekian Resensi Film yang saya tuliskan setelah melihat film Sang Kyai tersebut. Besar harapan saya untuk para saudara-saudariku warga Nahdliyin untuk menonton film ini. Untuk membangkitkan kembali semangat perjuangan menegakkan Islam di Bumi Nusantara ini. Allahu Akbar!!!

Film Sang Kyai, di beberapa segmennya dibumbui dengan kisah cinta dua sejoli yaitu Harun dan Sari. Mereka berdua adalah santri Tebuireng. Ada beberapa poin yang disampaikan dalam film tersebut, diantaranya arti kesucian pernikahan serta ketaatan istri kepada suami. 

Pernikahan antara Harun dan Sari dilaksanakan langsung dihadapan Hadratussyaikh. Prosesi pernikahannya juga berbeda dengan pernikahan sekarang pada umumnya. Pernikahan antara mempelai Pria dan wanita dipisahkan diruang yang berbeda. Bahkan sebelum dinikahkan Harun dan Sari hanya pernah berpandang sekilas dan berbicara dari kejauhan. Tidak seperti muda-mudi sekarang yang pacaran sebelum menikah “nempel” sana sini.

Setelah menikah, Harun mempunyai watak yang keras kepala selalu mempertanyakan kebijakan dan fatwa yang dikeluarkan oleh Hadratussyaikh, Mulai dari pelipatgandaan hasil pertanian sampai dengan mengadakan pelatihan wajib militer kepada para santri. Harun berpandangan kalau semua itu dilakukan hanya untuk dimanfaatkan oleh Jepang. Sempat beberapa kali terjadi konflik dalam Keluarga Harun dan Sari. Akan tetapi, keduanya saling menguatkan karena “Istri adalah pakaian bagi suami dan suami pakaian bagi istri” dan ”Jadilah istri yang menjadi pakaian bagi suami, yang menghangatkan dikala hujan, dan meneduhkan dikala kemarau”. Pesan ini disampaikan untuk dijadikan pembelajaran dan sangat penting direnungkan oleh keluarga sekarang yang sering mengalami konflik di internal keluarganya.

Kisah dua sejoli ini berakhir ketika Harun meninggal dunia dan syahid melawan tentara Inggris. 

Dalam Film ini, Hadratussyaikh juga sering mengungkapkan fakta yang selama ini ditutup-tutupi yaitu tentang Pentingnya Jihad Fisabilillah bahkan tidak jarang Film ini diisi dengan pekikan Takbir dan seruan berjihad. Bahkan Film ini juga mencoba meluruskan bahwa Islam dan Nasionalisme bukanlah kutub yang berlawanan, keduanya bisa berjalan seiringan dengan izin Allah. Dimulai dengan Islam kemudian nasionalisme. Begitulah petikan percakapan antara Hadratussyaikh dengan putra beliau Wahid Hasyim. 

Fenomena pemisahan antara Islam dan Negara ini selalu diwacanakan oleh para aktivis sekularisme seperti anggota Partai Nasionalis serta anggota Jaringan Islam Liberal yang ingin mengalahkan Islam dalam perpolitikan di negeri ini. Islam sesungguhnya agama yang sempurna, yang mengatur segala sesuatu mulai dari beribadah (sholat) sampai dengan bernegara. 

Semoga masyarakat Muslim Indonesia bisa tersadarkan melalui film ini. Bahwa penjajahan masih terjadi di negeri ini. Serta khususnya bagi warga Nahdliyin, sekarang saatnya bangkit! Lawan segala bentuk penjajahan di negeri ini.