Antropologi Al-Qur’an
Sampai saat ini kajian
Al-Qur’an masih banyak dilakukan oleh banyak kalangan intelektual muslim maupun
non muslim di belahan dunia. Begitu juga, jika “menengok” ke belakang dapat
ditemukan bermacam-macam karya para intelektual muslim yang mengulas perihal
studi Al-Qur’an. Sebut saja kitab Al-Itqan karya pemikir besar
al-Syuyuthi, Al-Burhan fi Ulumi Al-Qur’an karya al-Zarkasyi,
dan Manahilu Al’irfan karya al-Zarqani. Karya-karya tersebut
tidak hanya masyhur pada masanya, tetapi juga sampai saat ini karya-karya
tersebut masih dijadikan sebagai salah satu referensi dalam studi Al-Qur’an.
Namun karya-karya yang sudah lama ada itu dirasakan
masih banyak kekurangan, apalagi jika diterapkan dalam kontek kekinian.
Sehingga memunculkan kegelisahan tersendiri bagi para intelektual muslim
kontemporer. Sehingga mereka mencoba mengkaji ulang atas studi-studi Al-Qur’an
yang sudah ada, maupun memberikan “materi” baru dalam studi Al-Qur’an. Mereka
ingin mencairkan studi Al-Qur’an yang selama ini selalu dikekang dengan
idiologis-politis tertentu. Hal ini menyebabkan pesan universal dalam Al-Qur’an
tidak tersampaikan secara menyeluruh.
Beberapa tokoh kontemporer yang mencoba mengkaji ulang
(melakukan pembaharuan) atas studi Al-Qur’an, diantaranya adalah Amin
al-Khulli, intelektual Mesir yang melopori pendekatan susastra Al-Qur’an,
menyatakan dalam sebuah karyanya, bahwa Al-Qur’an merupakan kitab sastra
terbesar (Kitab Al’Arabiyah Al-Akbar). Artinya sebelum melangkah pada
studi Al-Qur’an lebih jauh, Al-Qur’an harus dianggap sebagai teks sastra suci.
Dengan kata lain, seseorang harus menempuh metode pendekatan sastra, agar dapat
memahami Al-Qur’an secara proporsional.
Selanjutnya, Nasr Hamid Abu Zaid, dalam karyanya Mafhum
Al-nash (diterjemahkan dengan judul Tekstualitas Al-Qur’an; Kritik
terhadap Ulumul Qur’an, LKiS), yang menganggap Aqur’an sebagai sebuah teks yang
dapat ditafsirkan secara beragam. Pemilihan kata teks yang merujuk pada
Al-Qur’an dimaksudkan untuk menghindari konotasi teologis-mitis dalam studi
Al-Qur’an. Dari beberapa tokoh diatas menunjukkan bahwa mereka memiliki tujuan
yang mulia dalam mengembangkan Studi Al-Qur’an.
Buku berjudul Antropologi Al-Qur’an ini juga membahas
suatu tawaran baru dalam khazanah keilmuan islam, terutama Studi Al-Qur’an.
Kajian baru yang diberikan merupakan hasil pembacaan atas pemikiran Mohammed
Arkoun, salah satu tokoh intelektual kontemporer terkemuka yang berwarganegara
Aljazair. Arkoun merupakan guru besar pemikiran dan kebudayaan islam di
Univesitas Sorbonne Nouvelle (Paris III), Prancis. Pemikiran-pemikiran segar
yang dilontarkan Arkoun banyak dikaji dalam kalangan akademik. Pemikiran Arkoun
juga begitu berpengaruh di lingkungan Perguruan Tinggi Indonesia, terutama
Perguruan Tinggi Islam. Sehingga penulis buku ini, Baedhowi,
M.Ag, mencoba untuk merangkai beberapa hasil pemikiran Arkoun dalam
bingkai sebuah buku yang menakjubkan.
Kajian Al-Qur’an yang ditawarkan Arkoun merupakan
hasil kolaborasi antara khazanah keilmuan yang sudah ada (konvensional) dengan
alat analisis modern, terutama semiotika dan antropologi. Sebelum memulai pada
persoalan kajian Al-Qur’an, penulis mengulas sosok Muhammed Arkoun yang
dijadikan sebagai tokoh dalam buku ini. Pembahasan perihal kehidupan Arkoun
dimulai dari kelahiran, sang tokoh sentral dalam buku ini, sampai
pada kancah karirnya dalam dunia akademik.
Arkoun sangat apresiatif memberikan perhatiannya pada
pengetahuan bahasa. Hal ini disebabkan tradisi dan kebudayaan yang
membentuk pola berfikirnya. Sejak kecil Arkoun terbiasa menggunakan tiga bahasa
dalam kehidupan sehari-hari. Pertama, bahasa Kabilia; yang
digunakan dalan kehidupan sehari-hari, kedua, bahasa Perancis;
digunakan di sekolah dan urusan administratif, dan, ketiga, bahasa
Arab; digunakan di lingkungan masjid dan urusan yang berkaitan dengan Islam
(Halaman 4). Berpijak dari pengalamannya itu tema-tema pemikiran
Arkoun banyak terkait dengan bahasa. Arkoun terobsesi untuk menggabungkan
bahasa dengan persoalan kemanusian. Karena selama ini ilmu kebahasaan belum menyentuh
permasalahan-permasalahn manusia, yang ada malah berjalan masing-masing seolah
tidak saling terkait. Sehingga Arkoun dalam hal ini menggunakan semiotika dan
antropologi sebagai pendekatan untuk mengkaji Al-Qur’an. Hal ini juga
disebabkan Al-Qur’an merupakan kitab primer yang mengandung
simbol, konsep, dan metafor dalam setiap untaian kata yang saling
berkaitan.
RESENSI FILM : HADRATUSSYAIKH
SANG KYAI HASYIM ASYARI
Standar
Film ini dimulai dengan sebuah kisah di
lingkungan Pesantren Tebuireng Jombang, Jawa Timur. Pesantren yang dipimpin
oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari ini dalam kondisi yang tenang dan
khusyuk. Banyak santri yang berasal dari Pulau Jawa dan Madura datang untuk
belajar ilmu pengetahuan Islam di pesantren ini. Hadratussyaikh pun dikenal
sebagai pendiri jama’ah Nahdlatul ‘Ulama. Organisasi yang dibentuk untuk
menyatukan seluruh umat Islam yang berbasis pesantren. Organisasi ini juga
mempunyai tujuan untuk mengajarkan Islam serta mensejahterakan masyarakat Indonesia.
Dalam permulaan film ini, Hadratussyaikh
berbincang dengan Istrinya bahwa “Seseorang yang tidak berjama’ah tidak akan
mendapatkan ridho Allah SWT dari jaman dahulu hingga sekarang”. Artinya kita
ketika hidup di Dunia ini haruslah berjama’ah supaya kita bisa menjaga saudara
muslim kita untuk mengajak kepada kebaikan, mencegah dari kemungkaran dan
senantiasa saling mengingatkan untuk beriman kepada Allah.
Kisah Film ini dimulai dengan penolakan
masyarakat Islam dengan “Sikerei”. Sikerei merupakan
upacara tentara jepang untuk menyembah dewa matahari yang disimbolkan dengan
menundukkan badan meyerupai gerakan ruku’. Hal ini juga ditentang oleh para
‘ulama pada saat itu termasuk Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari. Hingga kemudian
tentara Jepang datang ke Pesantren Tebuireng dengan membawa senjata api bahkan
nyaris membakar para santri yang sedang belajar di tempat tersebut.
Hadratussyaikh tidak mau melakukan Sikerei karena ini adalah salah satu bentuk
penyembahan kepada selain Allah. Bahkan dengan tegas Hadratussyekh menyatakan
bahwa “Sikerei itu Haram!”
Setelah dipindahkan ke mojokerto, Wahid
Hasyim dan KH. Wahab Chasbullah melakukan perundingan melalui jalur diplomasi.
Beliau berdua mendatangi tentara jepang serta para pemimpinnya, dan akhirnya
jepang pun melunak setelah mendapatkan penjelasan oleh masyarakat pribumi yang
bekerja kepada jepang bahwa masyarakat Indonesia sangat kuat ikatan
persaudaraannya dengan dilandasi dengan agama Islam. Akhirnya jepang pun
melepaskan Haddratussyaikh beserta para ‘ulama lainnya dari dalam penjara.
Jepang kemudian membujuk para pemimpin
umat Islam untuk bekerjasama dengan pemerintah jepang. Kemudian Majelis Islam
Ala Indonesia (MIAI), sebuah organisasi ke-Islam-an yang berhubungan dengan
jaringan Islam Internasional dibubarkan dan digantikan dengan Masyumi (Majelis
Syuro Muslimin Indonesia). Masyumi ini dipimpin oleh beberapa ‘ulama Islam dan
salah satunya adalah KH. Hasyim Asyari.
Kemudian Jepang membujuk Masyumi melalui
Departemen Agama (Shumubu) untuk memaksa masyarakat Indonesia untuk
melipatgandakan hasil pertaniannya. Paksaan ini kemudian disetujui dan
dilakukan dengan hati-hati dan kewaspadaan jangan sampai hasil pertanian
masyarakat pribumi dibawa ke Negara penjajah.
Kebijakan Jepang untuk melipatgandakan
hasil pertanian pun mulai menuai protes dari masyarakat Indonesia. Beberapa
pergolakanpun terjadi, salah satunya di daerah Sukamanah, Jawa Barat.
Pergolakan ini dipimpin oleh KH. Zaenal Mustafa yang penentang kebijakan tanam
paksa ini. Sikap Masyumi seakan-akan diam menuai pertanyaan dari masyarakat.
Hingga kemudian KH. Zaenal Mustafa dihukum penggal oleh Jepang di pesisir
Ancol.
Pelawanan rakyat Indonesia kembali
bergelora melihat penjajahan jepang yang mulai mengingkari perjanjian yang telah
disepakati. Masyumi akhirnya menolak untuk melanjutkan bujukan Jepang melalui
Departmen Agama (Shumubu). Dan Jepang akhirnya melakukan taktik untuk
menggabungkan Shumubu dengan Masyumi dengan menunjuk Haddratusyaikh sebagai
Menteri Agama waktu itu. Beliau menerimanya, akan tetapi Beliau memilih untuk
tetap di Pesantren Tebuireng dan Tugad Menteri Agama dilaksanakan oleh Putra
Sulungnya Wahid Hasyim.
Tahun 1945, Jepang mendapatkan tekanan
dan serangan oleh tentara Sekutu sehingga kemudian Jepang mengalami kekalahan
dan pasukannya mulai melemah. Kemudian Jepang meminta kepada Masyumi untuk
mengadakan pelatihan wajib militer kepada seluruh Muslim Indonesia melalui
Hadratussyaikh. Akan tetapi, Hadratussyaikh menolaknya karena mayoritas
masyarakat Indonesia pasti tidak mau untuk melawan tentara sekutu di wiliayah
Burma. Beliau kemudian meminta kepada Jepang melatih masyarakat Indonesia untuk
membentuk tentara Laskar Hisbullah untuk mempersiapkan kemerdekaan.
Laskar Hisbullah pun terbentuk, posisi
Jepang terancam dengan kekalahannya melawan tentara Sekutu. Pembentukan panitia
persiapan kemerdekaan pun terus berlanjut. Hingga kemudian pada tanggal 11
Agustus 1945, Perdana Menteri Jepang, PM Kaiso menjanjikan kemerdekaan kepada
Indonesia dan mengundang Soekarno sebagai utusan yang menerima pernyataan
kemerdekaan Indonesia tersebut.
Kemerdekaan Indonesia pun semakin dekat,
Soekarno melalui utusannya meminta pernyataan membela tanah air kepada
Hadratussyaikh untuk melawan penjajahan. Utusan Soekarno menyampaikan
“bagaimana hukumnya membela tanah air bagi masyarakat Indonesia tanpa
kepentingan golongan dan agama apapun?” Utusan Soekarno ini sempat mengulangi
pertanyaan tersebut sampai beberapa kali. Kemudian Hadratussyaikh menjawab
bahwa “Hukum membela tanah air adalah wajib bagi setiap Muslim”. Hal ini bisa
diartikan bahwa setiap umat Islam wajib memperjuangkan tanah airnya demi
kemuliaan Islam. Pergolakan pun berlanjut, Kemerdekaan pun dikumandangkan pada
tanggal 17 Agustus 1945. Peperangan masih berlanjut dan Jepang pun angkat kaki
dari Indonesia.
Akan tetapi, Belanda yang belum mengakui
kemerdekaan Republik Indonesia datang kembali ke Tanah air hingga kemudian
terjadi pergolakan kembali. Ditambah dengan tentara Inggris yang membonceng
tentara Belanda datang ke Surabaya pada Bulan November 1945. Bung Tomo, salah
satu pejuang kemerdekaan pun datang dan bertemu langsung kepada Hadratussyaikh
untuk meminta wejangan dan nasehat. Dan Hadratussyaikh pun berkata kepada Bung
Tomo untuk Menyampaikan orasi dengan lantang serta menyuarakan Islam dengan
cara mengagungkan Nama Allah dalam orasinya dengan Takbir tiga kali. Allahu
Akbar!! Allahu Akbar!! Allahu Akbar!!
Resolusi Jihad pun dirumuskan oleh para
‘Ulama dalam pertemuan yang dilakukan di dalam gedung GP. Ansor Surabaya.
Resolusi Jihad ini diadakan untuk mengoptimalkan perjuangan umat Islam
Indonesia. Bahwa melawan penjajah kafir wajib hukumnya, barangsiapa yang wafat
maka akan syahid karena Allah dan barangsiapa yang bersekutu dengan belanda
maka akan dibunuh.
Peperangan pun terus berlanjut. Pada
tanggal 10 November 1945, Kota Surabaya menjadi lautan api. Semua sudut kota
terbakar habis. Kemudian Inggris berhasil dipukul mundur oleh para pejuang
Islam yang telah berjuang dengan berdarah-darah.
Film ini ditutup dengan wafatnya
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari, padahal pada saat itu para pejuang Islam
masih membutuhkan banyak nasehat dari beliau untuk tetap mempertahankan negara
Indonesia ini dalam bingkai ke-Islam-an. Pada saat itu pula Agresi
Belanda I yang terjadi pada tanggal 21 Juli 1947. Jombang pun diserang
oleh Belanda, bahkan pesantren Tebuireng dibakar oleh Belanda karena dituduh
sebagai sarang pemberontak Muslim.
Sekian Resensi Film yang saya tuliskan
setelah melihat film Sang Kyai tersebut. Besar harapan saya untuk para
saudara-saudariku warga Nahdliyin untuk menonton film ini. Untuk membangkitkan
kembali semangat perjuangan menegakkan Islam di Bumi Nusantara ini. Allahu
Akbar!!!
Film Sang Kyai, di beberapa segmennya
dibumbui dengan kisah cinta dua sejoli yaitu Harun dan Sari. Mereka berdua
adalah santri Tebuireng. Ada beberapa poin yang disampaikan dalam film
tersebut, diantaranya arti kesucian pernikahan serta ketaatan istri kepada
suami.
Pernikahan antara Harun dan Sari
dilaksanakan langsung dihadapan Hadratussyaikh. Prosesi pernikahannya juga
berbeda dengan pernikahan sekarang pada umumnya. Pernikahan antara mempelai
Pria dan wanita dipisahkan diruang yang berbeda. Bahkan sebelum dinikahkan
Harun dan Sari hanya pernah berpandang sekilas dan berbicara dari kejauhan.
Tidak seperti muda-mudi sekarang yang pacaran sebelum menikah “nempel” sana
sini.
Setelah menikah, Harun mempunyai watak
yang keras kepala selalu mempertanyakan kebijakan dan fatwa yang dikeluarkan
oleh Hadratussyaikh, Mulai dari pelipatgandaan hasil pertanian sampai dengan
mengadakan pelatihan wajib militer kepada para santri. Harun berpandangan kalau
semua itu dilakukan hanya untuk dimanfaatkan oleh Jepang. Sempat beberapa kali
terjadi konflik dalam Keluarga Harun dan Sari. Akan tetapi, keduanya saling
menguatkan karena “Istri adalah pakaian bagi suami dan suami pakaian bagi
istri” dan ”Jadilah istri yang menjadi pakaian bagi suami, yang
menghangatkan dikala hujan, dan meneduhkan dikala kemarau”. Pesan ini
disampaikan untuk dijadikan pembelajaran dan sangat penting direnungkan oleh
keluarga sekarang yang sering mengalami konflik di internal keluarganya.
Kisah dua sejoli ini berakhir ketika
Harun meninggal dunia dan syahid melawan tentara Inggris.
Dalam Film ini, Hadratussyaikh juga
sering mengungkapkan fakta yang selama ini ditutup-tutupi yaitu tentang
Pentingnya Jihad Fisabilillah bahkan tidak jarang Film ini diisi dengan pekikan
Takbir dan seruan berjihad. Bahkan Film ini juga mencoba meluruskan bahwa Islam
dan Nasionalisme bukanlah kutub yang berlawanan, keduanya bisa berjalan
seiringan dengan izin Allah. Dimulai dengan Islam kemudian nasionalisme.
Begitulah petikan percakapan antara Hadratussyaikh dengan putra beliau Wahid
Hasyim.
Fenomena pemisahan antara Islam dan
Negara ini selalu diwacanakan oleh para aktivis sekularisme seperti anggota
Partai Nasionalis serta anggota Jaringan Islam Liberal yang ingin mengalahkan
Islam dalam perpolitikan di negeri ini. Islam sesungguhnya agama yang sempurna,
yang mengatur segala sesuatu mulai dari beribadah (sholat) sampai dengan
bernegara.
Semoga masyarakat Muslim Indonesia bisa
tersadarkan melalui film ini. Bahwa penjajahan masih terjadi di negeri ini.
Serta khususnya bagi warga Nahdliyin, sekarang saatnya bangkit! Lawan segala
bentuk penjajahan di negeri ini.